Book Review: Entrok by Okky Madasari

Judul : Entrok
Nama Pengarang : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 282 Halaman
Diterbitkan pada : 05 April 2010
Format : Paperback
Mulai membaca : 06 Juli 2014
Selesai Membaca : 06 Juli 2014
Rating : 3,9 / 5 stars! 










Sinopsis :
Marni, perempuan Jawa buta huruf yang masih memuja leluhur. Melalui sesajen dia menemukan dewa-dewanya, memanjatkan harapannya. Tak pernah dia mengenal Tuhan yang datang dari negeri nun jauh di sana. Dengan caranya sendiri dia mempertahankan hidup. Menukar keringat dengan sepeser demi sepeser uang. Adakah yang salah selama dia tidak mencuri, menipu, atau membunuh?

Rahayu, anak Marni. Generasi baru yang dibentuk oleh sekolah dan berbagai kemudahan hidup. Pemeluk agama Tuhan yang taat. Penjunjung akal sehat. Berdiri tegak melawan leluhur, sekalipun ibu kandungnya sendiri.

Adakah yang salah jika mereka berbeda?

Marni dan Rahayu, dua orang yang terikat darah namun menjadi orang asing bagi satu sama lain selama bertahun-tahun. Bagi Marni, Rahayu adalah manusia tak punya jiwa. Bagi Rahayu, Marni adalah pendosa. Keduanya hidup dalam pemikiran masing-masing tanpa pernah ada titik temu.

Lalu bunyi sepatu-sepatu tinggi itu, yang senantiasa mengganggu dan merusak jiwa. Mereka menjadi penguasa masa, yang memainkan kuasa sesuai keinginan. Mengubah warna langit dan sawah menjadi merah, mengubah darah menjadi kuning. Senapan teracung di mana-mana.

Marni dan Rahayu, dua generasi yang tak pernah bisa mengerti, akhirnya menyadari ada satu titik singgung dalam hidup mereka. Keduanya sama-sama menjadi korban orang-orang yang punya kuasa, sama-sama melawan senjata.

Review :
Entrok. satu kata itu membuat saya bertanya-tanya sebelumnya. itu apaan ya? dan sempet hampir tertipu dengan covernya yang sempet saya kira chicklit yang tipe2 sophie kinsella.. ternyataa oh ternyataa.. Entrok adalah Kutang atau BH kalo kita perempuan menyebutnya.

Alkisah hiduplah Marni yang dimasa kecilnya hidup bersama simboknya setiap hari bekerja sebagai tukang mengupas singkong di Rumah Nyai Dimah. Ketika Marni mulai beranjak dewasa dan dirasanya dadanya sudah mulai tumbuh ia merengek-rengek meminta untuk dibelikan Entrok ke simboknya. Memang mereka miskin untuk hidup sehari-hari sudah sangatlah susah. Marni akhirnya berinisiatif untuk menjadi kuli dipasar demi mendapatkan sekeping uang yang akan dibelikan untuk Entrok berwarna warni. Dalam perjalanannya terdapat pemuda bernama Suteja yang naksir akan Marni.. mereka pun melangsungkan pernikahan ala kadarnya dan hidup sebagai suami istri..

selesai ceritanya? tentu sajaa tidakk.. selama perjalanan hidup Marni dia mulai menyambung hidup dari berdagang panci hingga akhirnya menjadi rentenir di kampungnya. Marni dan Suteja memiliki seorang anak perempuan yang bernama Rahayu. Disinilah saya mulai menyadari bahwa titik cerita ini ada dua sisi yaitu bagaimana kehidupan Marni dan bagaimana kisah Rahayu itu sendiri.

Sebagaimana bumbu-bumbu konflik di novel ini sangat terlihat sekali dari tahun2 yang mengawali setiap halaman. Dimana saat itu ketika untuk pemilihan umum hanya ada tiga partai terkuat yaitu si kuning, si merah dan si hijau.. Dimana penduduk secara halus dan paksa disuru memilih si pohon beringin atau menyumbang donasi sana sini yang tiada jelas untuk apa.. dimana kita kehilangan kebebasan untuk berpendapat, melakukan segala sesuatu yang kita sukai. *masih geleng2 saya pas baca gak nyerahin sepetak sawah ditangkap, memberi uang untuk latihan tarian naga dikirain anggota atau simpatisan PKI.. saya kesal sekali pas tentara yang harus mengayomi rakyat malah menjadikan rakyat kampung sebagai kambing hitam. huhh.. semakin yakin saya tidak akan mau memilih calon yg bisa memungkinkan kisah ini dan ladang hitam di pulau dewata terulang kedua kalinya dimasa depan *curcolan

saya membaca kisah-kisah lainnya yang bagaimana nasib dari seorang yang memiliki KTP bertandakan "ET" atau Eks Tahanan Politik diperlakukan bagaimana buruknya di negeri kita ini. Mulai dari tidak memiliki hak pilih, tidak bisa bekerja dengan layak, setelah bebas harus lapor setiap 1, 3, 6 bulan dan 12 bulan sekali, harus berpindah-pindah tempat tinggal, harus menyembunyikan nama asli, hingga mendapat diskriminasi lainnya.. mungkin cerita tentang Gerwani kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan by Amurwani Dwi Lestariningsih bisa dijadikan referensi. Katanya di jamaan Gus Dur KTP yang bertandakan ET sudah dihapuskan sehingga mereka memiliki kesempatan yang sama dengan WNI lainnya namun tampaknya masih ada sistem di pemerintah yang menandai bahwa orang ybs adalah ET meski tidak tampak di KTP.

DI satu sisi saya tergelitik dengan kisah ritual-ritual yang sering dilakukan oleh Marni. Pemujaan kepada inilah, nasi berkat untuk ini, selametan untuk itulah.. yang sebenarnya kita masih lakukan sehari-hari. seperti ketika ada yang meninggal dunia dilakukanlah tahlilan 7 harian, 40 harian, 100 harian bahkan ada 1000 harian yang sebenarnya diajaran agama islam juga gak ada.


Overall, saya suka tema yang diangkat oleh mbak Okky Madasari ini. Novel ini paling saya sukai. baru keduanya 86 dan yang terakhir pasung jiwa.. 3,9 dari 5 bintang! :)

0 comments:

Post a Comment