Judul : Momoye: Mereka memanggilku
Pengarang : Eka Hindra - Koichi Kimura
Penerbit : Esensi
Halaman : 314 Halaman
diterbitkan pada : 2007
Format : Paperback
Mulai Membaca : 10 Juli 2014
Selesai Membaca : 12 Juli 2014
Rating : 3,2 / 5 stars!
Sinopsis :
Momoye adalah salah satu potret buram seorang perempuan dari
Yogyakarta yang dipaksa menjadi "rangsum jepang" pada masa pendudukan
Jepang di Indonesia th 1942. Mardiyem, demikian namanya kecilnya, harus menanggung
derita panjang selama menjadi Jugun Ianfu di Asrama tentara Jepang, Telawang
Kalimantan Selatan. Ia disiksa, dianiaya, dipaksa melayani nafsu seks tentara
Jepang pada umur yang masih sangat muda 13 th, bersama 24 orang perempuan
lainnya, yang berasal dari berbagai daerah di pulau Jawa
Review :
kita berhutang kepada rahim-rahim mereka yang telah berani
dan tabah menjalani kehidupan yang teramat perih. Eka Hindra
Buku ini mengisahkan perjuangan Ibu Mardiyem yang merupakan
salah satu korban budak seks militer Jepang atau yang disebut Jugun Ianfu di
Indonesia tahun 1942-1945. Buku ini menceritakan awal mula dan pembeberan
perbuatan-perbuatan tidak layak dari tentara jepang di jaman kaisar Hirohito..
Saya sangat salut dengan perjuangan ibu Mardiyem yang berani mengangkat topik
yang merupakan luka lamanya ke hadapan publik
Mardiyem lahir sebagai anak seorang abdi dalem Pekatik
bangsawan Yogyakarta yang bernama Kanjeng Raden Tumenggung Suryotaruno pada 7
Februari 1929. Ayahnya bernama Irodjoyo dan mereka terlahir sebagai empat
bersaudara. kakak-kakaknya bernama Jainem, Kardiyem, Ngatini dan barulah
Mardiyem sebagai anak bungsu. Ibu mereka meninggal ketika Mardiyem berusia 3
bulan. Perbedaan usia yang sangat jauh dengan ketiga mbakyunya membuat Mardiyem
lebih dekat kepada ayahnya ketimbang kakak2 perempuannya
Pada tahun 1939, Ayah Mardiyem meninggal di usia 60 tahun
dan ia tidak mungkin tinggal dengan kakak2nya yang untuk hidup saja sudah sulit
sehingga menumpang-numpang tinggal dengan orang lain dan akhirnya pada suatu
hari ada rombongan orkes yang menarik hatinya. Mardiyem mencoba mengatakan
keinginannya kepada Zus Lentji dan memutuskan akan menjadi penyanyi di Borneo.
DI borneo tepatnya di Kota Telawanglah perjalanan hidup Mardiyem yang
menyakitkan dimulai..
"Aku diberi nama Momoye dan menempati kamar nomor 11.
Sejak saat itu semua orang memanggilku dengan nama itu. Nama Mardiyem telah
hilang di Telawang - Mardiyem
Saya tidak tega meneruskan cerita review saya.. Betapa
tragis dan kejamnya nasib Momoye di Asrama Kota Telawang.. Sesampai disana
ternyata sudah ada rumah bordil yang akan berisi 21 orang wanita yang akan
dijadikan budak seks tentara militer jepang.. Momoye yang masih berusia 13
tahun dan belum mendapat datang bulan dipaksa melayani nafsu bejat tentara2
jepang sebanyak 10-15 orang setiap harinya! Sempat hamil namun di usia
kandungan 5 bulan disuruh digugurkan paksa hingga akhirnya ibu Mardiyem yang
setelah Jepang pergi dari Indonesia menikah dengan pria Indonesia bernama Amat
Mingun hanya sanggup melahirkan satu anak laki-laki bernama Mardiyono namun
setelah itu kandungannya telah rusak berat akibat perbuatannya di masa lalu..
Masa lalu sebagai penghuni asrama Telawang membuat aku
trauma dengan laki-laki. Aku sama sekali tidak menginginkan seks lagi. Rasa itu
telah mati - Mardiyem
Masyarakat masih mencap kami sebagai pelacur dan perempuan
nakal, meskipun peristiwa itu telah terjadi puluhan tahun yang lalu.
Penderitaan fisik masih aku rasakan sampai sekarang. Tulang punggungku remuk,
kaki kiriku mengecil dan di kepalaku ada gumpalan darah.. Mardiyem
Saya membaca Ibu Mardiyem menuntut tiga hal ini kepada
pemerintah jepang ketika melakukan kesaksian di Jepang :
1. Pemerintah Jepang harus mengakui bersalah dan meminta
maaf kepada setiap Jugun Ianfu
2. Pemerintah jepang memulihkan denganjalan melakukan
rehabilitasi nama baik setiap Jugun Ianfu dan menyebarluaskan masalah Jugun
Ianfu kepada generasi muda melalui kurikulum pendidikan sejarah di Jepang
3. Memberikan uang kompensasi sebagai korban perang kepada
setiap Jugun Ianfu
dan yang berhasil ditanggapi nomor 1 dan nomor 3 (meski
tidak seberapa).. saya angkat topi atas perjuangan Ibu Mardiyem membela haknya
yang pernah ditindas dengan tidak layak! Buku ini saya berikan 3,9 dari 5
bintang!
0 comments:
Post a Comment