Judul : Noto, Tragedi, Cinta, dan Kembalinya sang Pangeran
Nama Pengarang: Prijono Hardjowirogo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 336 Halaman
Diterbitkan pada : Juli 2014
Format : Paperback
Mulai Membaca : 02 November 2014
Selesai Membaca : 06 November 2014
Rating : 3 / 5 stars
Sinopsis :
Tidakkah kamu tahu siapa Noto sebenarnya?”
”Siapa Noto? Dia bilang padaku, bahwa orangtuanya terbunuh
tahun 1965.”
Situasi politik di Boyolali pada 1965 telah mengubah jalan
hidup banyak orang. Korban berjatuhan dan Noto menjadi salah satu korban masa
yang kelam itu. Orangtuanya terbakar bersama rumah mereka, namun Noto kecil
berhasil selamat. Menjadi sebatang kara, ia masih beruntung karena memiliki
keluarga jauh. Ia tinggal bersama pamannya dan dibesarkan sampai dewasa dan
memilih menjadi tentara.
Sebelumnya, Noto juga bekerja di jasa pengiriman batik untuk
mendapatkan penghasilan. Bisnis inilah yang kemudian memberikan keuntungan
besar dan mengenalkannya kepada perempuan-perempuan yang mewarnai kisah cinta
Noto sampai ia menjatuhkan hatinya kepada seorang guru tari keraton bernama
Yanti. Namun kisah cinta ini tidak berjalan mulus karena Yanti adalah putri
bangsawan sementara Noto hanya rakyat jelata. Pada sebuah kunjungan ke Yogya,
sebuah rahasia terungkap dan memberi titik terang akan asal-usul Noto
sesungguhnya.
Dengan latar budaya Keraton Yogya dan Solo yang detail,
novel ini membawa kita ke sebuah kisah penuh tragedi, cinta, dan kembalinya
sosok seorang pangeran Jawa sekaligus pewaris takhta keraton yang selama ini
dikira telah mangkat
Review :
Akhirnya selesai juga membaca buku ini! Buku yang berhasil
bikin saya frustasi dibagian-bagian akhir halamannya. Fuhh *mengelap keringat
dulu
Baiklah.. Buku ini mengisahkan tentang seorang anak
laki-laki bernama Noto yang berhasil selamat ketika Boyolali mengalami
kecekaman di saat tahun 1965. Ayah dan ibunya tewas terbakar di dalam rumahnya
dan Noto kecil diasuh oleh keluarga jauhnya. Noto kecil yang tidak mudah
menyerah dan gigih dalam mencoba hal-hal yang belum pernah dilakukannya seperti
belajar ilmu silat, belajar menekuni agama islam dan juga belajar bisnis dari
mengantarkan batik di pasar. Hal ini menumbuhkan hasil dikala ia berusia masih 18
tahun ia sudah menjadi pengusaha sukses yang menekuni bidang jasa pengiriman
batik yang bernama “Gold River Batik expedition”. Hal ini tidak membuatnya
pongah tetapi ia berusaha meningkatkan kemampuannya dengan masuk kedalam
Akademi Militer yang membuat kepemimpinan dan skill manajemennya terasah.
Lika liku kehidupan percintaanpun tidak lepas dari Noto.
Dimulai ia jatuh cinta dengan Sari yang masih memiliki suami, mbak Puji yang
rekan partner bisnisnya dan pada akhirnya ia melabuhkan hatinya kepada seorang
putri dari solo yang special dihatinya. Ketika bayang-bayang kabut mulai sirna
dan menguak tabir kebenaran dari sosok Noto itu..
Sebenarnya saya sudah suka dengan jalan ceritanya dan
tadinya saya sempat berekspektasi lebih ada aroma-aroma kejadian 1965 yang
membuat saya tergelitik untuk membacanya. *Saya mengira akan ada kisah tentang
mengupas sosok ayah dan ibu Noto yang menjadi korban pembunuhan kasus di tahun
1965 sayangnya hal itu tidak ada. Selain itu poin plus lainnya adalah novel ini
SANGAT AMAT KENTAL Budaya jawanya . Banyak sekali disini mulai budaya jawa,
kisah Mahabharata, Ramayana, perwayangan, Raja Mataram, Ratu pantai selatan/Nyi
Roro Kidul, adat istiadat jawa jogja dan solo yang dikupas didalamnya. Seru sih
saya jadi banyak belajar tentang kebudayaan Jawa.. Namun secara tidak langsung
saya membandingkan dengan buku Para Priyayi: Sebuah Novel Umar kayam dan
Canting Arswendo Atmowiloto yang bernuansa sama dan tetap para priyayi bagi
saya masih yang paling melekat di hati saya.
Kalo tadi udah poin plusnya sekarang poin minus dari buku
ini. Gak banyak-banyak Cuma satu kekurangan yang membuat buku ini minus dimata
saya hingga membuat saya frustasi membacanya. Sejak mulai halaman 265, Buku
novel ini tidak “Ramah” kepada saya yang bukan orang jawa tulen. Buku ini tidak
memuat sedikitpun catatan kaki atau arti percakapan dialog ketika ada bahasa
jawa kromo inggil yang digunakan oleh abdi dalem keraton/istana sehingga hal
ini menyulitkan saya membaca di bagian-bagian akhir buku. Bisa dibayangkan saya
yang merupakan orang campuran Sumatera dan Jawa Timur membaca buku ini? Hening
dan roaming itu jawabannya. Saya sampai menanyakan dulu maksud2 kalimatnya ke
teman saya yang pandai bahasa jawa halus. *nyerah kibarin bendera putih
Ini contoh2 dialog yang menggunakan bahasa jawa yang sukses
membuat saya frustasi membaca buku ini :
Dialog 1 (Halaman 265) :
“Kasinggihan Ngarso Dalem, keparenga kawula matur bilih
panyuwunan kawula sami ing pisowanan puniko minangkakani pratelan Guru Beksan
Siti Maningrum ingkang sawata wis warso mboten katingal. Kawula samo samangke
sampun mangertosi musabab ipun”
Dialog 2 (Halaman 266) :
“Coban mara padha sawengan. Pasuryane bocah nom-noman iki
ora bedha karo swargi Kakangmas Adijoyo, kupinge ya podo. Mangayu bagya, ‘Ngger,
anakkundene Nandalem wis bali maneh marang omahmu dewe”
Dialog 3 (Halaman 269) :
“…..Tumrap Dimas Adiyoso mugi kaprentahna dhumanteng para
wajib sigra hanindakaken upacara wilujengan, linaksanan ing dinten Jumuah kalih
minggu ing ngajeng kaleresan dinten ingkang sae tumrap Ingsun
Dialog 4 (Halaman 278) :
“Matur sembah kawulo konjuk Sinuwun, keparenga matur
sahandap Kawulo saha sawajingin Carik nagturi uninga bilih Ngarso Dalem wonten
babagan wigatos ingkang kawulo badhe aturaken
Saya hanya bisa berikan buku ini 3 dari 5 bintang
tampaknya.. :’)
0 comments:
Post a Comment